Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional jatuh pada Tanggal 8 Mei. Diperingati setiap tahunnya, kali ini saya tiba-tiba menjadi bagian itu semua. Bersama Palang Merah Indonesia (PMI). Wah, tak terbayangkan bagi saya. Ini sepenggal cerita soal PMI, Engkong Najid dan Relawan PMI masa kini, serta aksi PMI di Hari Bumi 2016.
Prolog : PMI dan Prinsipnya
Dulu, sukarelawan PMI pada masa kemerdekaan mendedikasikan diri untuk pertolongan pertama terhadap korban perang dan prajurit gerilyawan. Ya, sebagaimana sering kita lihat pada diorama maupun fragmen pementasan mengenai perjuangan kemerdekaan di televisi dan media lainnya.
Nah, 8 Mei diperingati sebagai hari palang merah dan bulan sabit internasional. Singkatnya kita sebut saja “Gerakan Palang Merah”. Tanggal tersebut adalah hari lahirnya Henry Dunant, pelopor gerakan palang merah dan sejak tahun 1948 sudah diperingati secara global sebagai hari palang merah dan bulan sabit merah internasional.
Secara struktural, Palang Merah terdapat Komite Internasional Palang Merah, sebagai institusi privat kemanusiaan, Federasi Internasional Komunitas Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang mengatur kegiatan anggota pergerakan palang merah dan bulan sabit merah di 188 negara yang tergabung, serta ada pula Komunitas Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit, yang hadir di setiap negara di dunia. Salah satunya Palang Merah Indonesia.
Di Indonesia, PMI sebenarnya jauh dimulai sebelum masa pergerakan perjuangan merebut kemerdekaan. Karena sebelum Perang Dunia II, tepatnya 12 Oktober 1873. Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI), yang kemudian dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Selanjutnya, proses pembentukan PMI dimulai 3 September 1945 dimana saat itu Presiden Soekarno memerintahkan Dr. Boentaran (Menkes RI Kabinet I) agar membentuk suatu badan Palang Merah Nasional.
PMI selalu mempunyai tujuh prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan sabit merah yaitu kemanusiaan, kesamaan, kesukarelaan, kemandirian, kesatuan, kenetralan, dan kesemestaan. Sampai saat ini PMI telah berada di 33 PMI Daerah (tingkat provinsi) dan sekitar 408 PMI Cabang (tingkat kota/kabupaten) di seluruh Indonesia.
PMI : Anywhere to Anyone
Saya tertarik, sungguh, dengan tema peringatan tahun ini. Anywhere to Anyone. Dimanapun, untuk Siapapun. Selain yang dipahami oleh saya, bahwa itu artinya aksi-aksi kemanusiaan harus selalu dikedepankan dan dilakukan dimanapun kepada siapapun tanpa memandang usia, gender, suku maupun agama yang penting niat membantu menolong dan menjaga lingkungan. Sekecil apapun, sangat berarti baik bagi kita semua secara langsung, maupun tidak langsung melalui terjaganya lingkungan alam sekitar.
Ketertarikan ini semakin menarik, ketika saya tiba-tiba jadi bagian PMI di Ruwat Bumi 2016, ajang PMI dalam menjaga bumi. Melalui sebuah grup bernama TauDariBlogger (TdB) yang inspiratif lintas-profesi. Walau mendaftar dan terdaftar, tapi merupakan hal yang surprise, bagi saya. Apa ngga salah. PMI dan lingkungan hidup. Pause dulu. Aneh bukan? Sebelumnya iya. Aneh, itu kata “orang rumah” alias bini. Susur ciliwung, bersama PMI? Bukannya SAR, BNPB dan sejenisnya?
Saya juga heran. Telisik dan mencari (googling, ala blogger) ternyata, PMI punya peran yang lebih besar dari sekedar donor darah. Wah. Peran PMI selain relawan donor darah, juga sukarelawan pelayanan kesehatan, respons bencana, kesiapsiagaan bencana, relawan perusahaan, lingkungan hidup dan sejenisnya. Banyak toh bro.
Akhir kata, pamit-lah saya di pagi itu. Berkendara motor bebek jadul 2006, tunggangan favorit yang berkarakter Manchester City, Menuju PMI Kabupaten Bogor di kawasan Pemda Cibinong. Bersama perasaan, entah, perasaan apa. Exciting, gembira. Degdegan dan menantang. PMI, sepertinya benar, is anywhere to anyone, and my adventure is about to begin!
Tiga Generasi di Biduk PMI
Sebelum berada di perahu karet ini, saya tak pernah mimpi.
Namun kenyataan itu bermula suatu pagi, pukul 5.30 WIB. Bogor masih adem, tak menyisakan sisa hujan memang, walaupun dalam musim yang pancaroba dimana hujan dan terik silih berganti saja. Tanda iklim yang mengkhawatirkan. Ulah manusia, tentu saja.
Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Bogor ini terlihat hidup. Tak seperti bayangan saya semula. Serem karena tempat orang “nyumbang darah”. Darah, sesuatu yang menurut saya bukan hal yang gampang saya lihat, dalam jumlah banyak. Rada pusing.
“Oh blogger ya! Mari motornya parkir di belakang!” demikian seorang perempuan berbadan besar, dengan pakaian rompi PMI dan topi pet yang membuatnya beda. Nyentrik.
Meri, ternyata.
Saya sudah mengenalnya di sebuah grup aplikasi chat yang mempersiapkan blogger untuk ikut ambil bagian di Hari Bumi bersama PMI. Beliau ternyata asyik orangnya, cool and ramah. Saya yang tadinya ragu ikut perahu, tiba-tiba antusias. Blogger yang urusannya laptop, juga relawan TIK yang urusannya IT siap nyebur!
Dan, Disini-lah saya.
Sudah didalam perahu karet, berlima bersama anak-anak muda yang keren, om-om yang keren, dan kakek-kakek yang keren. Tiga generasi dalam satu biduk.
Engkong Najid, demikian semua relawan PMI memanggilnya. Sesuai namanya, beliau sudah renta. Namun fisiknya, tak sepadan dengan semangatnya. Lebih cadas mungkin daripada kebanyakan anak muda. Ya, kecuali anak-anak muda yang ikut dalam kegiatan kerelawanan tentu saja.
Engkong duduk dibagian belakang. Bersama Wahyu, baju merah, kalau saya tidak salah namanya. Baru saja masuk kuliah. Bagian belakang bagian berat, perlu tenaga ekstra kuat. Wahyu sih anak fitnes. Liat aja lengannya #uhuk nah engkong? Bikin malu saya ajah ah lu kong!
Ditengah, ada Pak Tri, dari PMI DKI Jakarta. Beliau bertugas seimbangkan perahu karet. Bridging antara flow belakang dan depan.
Di depan, ada saya dan Robi. Lupa-lupa inget juga. Badannya gede, sama kayak saya. Didepan tuk menavigasi arah dan memutar kesan kemari. Manuver perahu sangat penting dikendalikan. Saya sih urusannya mendokumentasikan. Sebab, sejarah adalah dokumentasi. Anda ngga akan ada di dunia tanpa ada dokumentasi. Penting! #Ngeles
Pengalaman kami sungguh menginspirasi dan penuh hikmah. Aliran DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung semakin kebawah semakin keruh dan dangkal. Serta sampah dimana-mana. Dalam perjalanan kami, memunguti sampah dan berbagai aktivitas susur sungai menambah pengetahuan saya soal masyarakat tepian sungai dan apa yang harus kita lakukan.
Engkong Najid, menjadi bintang hari itu.
Beruntungnya saya bersama beliau di perahu karet ini. Diulik sedikit-demi-sedikit, engkong Najid banyak bercerita. Soal ketika dia masih kecil. Menuju Manggarai menyusuri Ciliwung. Bersihnya sungai untuk mandi dan perahu rakit yang membawa barang ke Manggarai dan Jatinegara hingga Tanah abang dan Kota.
Bukan hanya saya dan Pak Tri yang terpana, namun kisah Engkong menjadi inspirasi kedua anak SMA, Wahyu dan Robi. Ya mereka memang remaja yang keren, mendapatkan pelatihan SAR dan kepalangmerahan, aktif di pencinta alam dan PMR (Palang Merah Remaja). Cerita Engkong semakin menjadikan mereka mendalami makna kehidupan dan penghidupan (pencarian rejeki).
“Kiri! Kiri! Yak Kayuh, Trus, trus, trus,” Pak Tri teriak-teriak.
Rupanya, kami harus minggir ke tepi. Ada tumpukan sampah yang harus diambil paling tidak sedikit, untuk disampaikan ke khalayak. Reporter tipi ikut mengambil gambar.
Sepintas, saya melihat gambar terkenal itu. Di atas gunung Suribachi, pertempuran Iwojima, pasukan US Marines berhasil menegakkan bendera menandai kemenangan peperangan dahsyat terakhir di teater asia pasifik.
Tapi bukan, bukan itu. Kebalik, ini pertempuran besar untuk meruntuhkan gunungan sampah! Engkong dengan semangat 45 nya naik ke gunung sampah dan berusaha menurunkan sebanyak mungkin sampah plastik dan yang tak terurai lainnya. Yang penting semangatnya sama, heroiknya sama, dan mudah-mudahan sama menginspirasinya!
“Ngga capek ‘kong? Ikut relawan?” saya sempat iseng nanya di perahu karet.
“Aduh, ini kan tempat kita tinggal, hidup kita. Kalau ngga bisa digunakan, habislah kita. Kalau ada kegiatan, hayuuk. Jangan berdiam diri. Masa orang lain yang mengerjakan untuk kenyamanan kita.“
Makjleb. Semua yang diperahu juga diam.
Engkong warga pinggiran kali. Dia paham, kami semua bukan warga sekitar tapi membantu. Dia juga paham, dampaknya besar ketika kali ciliwung terhambat sampah. Banjir di hilir. Itu menimpa semua orang.
Kalau egois, engkong yang di-hulu bisa saja cuek, tapi tidak, beliau tahu bagaimana dampaknya tidak Cuma ke “bawah” alias Jakarta. Tapi semua daerah bisa terkena. Semua kerelawanan dan kemanusiaan, karena kita bersaudara se Indonesia.
Turun di garis akhir perahu karet, sudah banyak yang kami telusuri. Biopori sudah, penyuluhan kebersihan lingkungan DAS sudah, dan terakhir makan Siang dan beristirahat di kebun taman vertikal buatan warga dan PMI. Lelah, tapi senang. Apalagi, dapat banyak petuah dari Engkong Najid dan dalam satu biduk, saya merasakan tiga generasi bahu membahu. Selain menyeret perahu karet menghadapi ombak dan aliran sungai, juga untuk Indonesia yang lebih baik.
Epilog : Kapanpun, Dimanapun, (Untuk dan Dari) Siapapun
Pengalaman beruwat bumi, membersihkan Sungai Ciliwung, membuat lubang-lubang biopori dan merawat taman vertikal dibantaran kali serta penyuluhan masyarakat di tepian Ciliwung soal kebersihan dan merawat lingkungan. Hmm.. asyik dan bermanfaat!
Selain itu, saya gembira, Kerelawanan tak hanya milik “orang kuat” dan “karyawan PMI”. PMI adalah milik bersama. Kita semua, rakyat Indonesia tak lupa akan sejarah PMI dan perannya. Kita semua, rakyat Indonesia menjadi prioritas PMI dalam melakukan tugasnya. Dimana saja dan Untuk Siapa Saja. Sesuai tema Hari PMI.
Itu sesuai dari sisi pelayanan PMI yang tak membatasi. Semua sama. Dilakukan dimana saja di seantero wilayah Indonesia. Tak hanya mendonor darah, tapi pertolongan pertama untuk siapa saja. Bahkan untuk BUMI yang kita tempati agar bersahabat dan tak hasilkan bencana.
Namun dari aktivitas ruwat bumi waktu itu, saya berkesimpulan, dari sisi relawan itu sendiri, juga Dari Siapapun. Ya, relawan PMI tak hanya untuk mereka yang karyawan tapi semua pihak yang mau membantu menjadi sukarelawan. Mekanisme ini sepertinya sudah dilakukan oleh PMI dan saya dengan semangat akan menjadi bagian ini.
Kita bisa menjadi relawan, kapan saja dimana saja untuk siapa saja.
Engkong Najid, Pak Tri dan Saya, serta dua remaja SMA dan mahasiswa tahun pertama yang menjadi relawan di perahu karet kami. Tiga generasi kami dibiduk PMI, dan dari tahun perjuangan kemerdekaan, PMI sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.
Kali ini, kita harus pastikan bahwa PMI menjadi bagian kita semua, setiap generasi, baik yang sekarang maupun yang akan datang! Dirgahayu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional!
PS : Petualangan lengkap Ruwat Bumi 2016 Susur Ciliwung saya sajikan di blog post ini.