Kultur Birokrasi dan Masyarakat

https://www.unggulcenter.org/kultur-birokrasi-dan-masyarakat/

Pendahuluan
Birokrasi merupakan mata rantai tak terpisahkan dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal -kalau tidak disebut ideal. Berbanding terbalik dengan konsep birokrasi ideal yang dicetuskan Max Weber beratus tahun yang lampau, birokrasi terutama dinegara-negara berkembang (miskin, dunia ketiga) menunjukkan kecenderungan yang kurang baik yang berdampak tidak terpenuhinya kepuasan rakyat dalam pelayanan publik itu sendiri. Bahkan para penganut “mazhab New Public Management” menggambarkan kondisi yang dihadapi sekarang ini adalah suatau “kegagalan birokrasi”.

Kultur birokrasi
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah jajahannya. Aparat birokrasi yang ditugaskan di daerah jajahan sebelumya di doktrin dengan mengibaratkan dirinya (analogi birokrasi) sebagai monster raksasa “Leviathan” yang merupakan perwujudan kekuasaan negara. Birokrasi yang terbentuk pun menjadi sebuah mesin kekuasaan pemerintah dimana memiliki kekuasaan terhadap administrasi publik sehingga administrasi diartikan perluasan urusan rumah tangga pemerintah. Serta aparat birokrasi (pejabat) dalam konteks ini merupakan perpanjangan tangan pemerintah, dia bisa berbuat seenaknya seperti halnya yang dilakukan pemerintah. Memang patut diakui bahwa secara historis, birokrasi di Indonesia menjadi alat politik penguasa.

Budaya birokrasi pada masa orde baru pun tak kalah buruknya. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Secara struktural, kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan daripada agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, birokrasi feodalistik yang paternalistik masih dipertahankan, sebagai contoh masih dianutnya budaya priyayi sehingga berhadapan dengan birokrasi dan pejabat birokrat seakan berhadapan dengan seseorang atau lembaga yang memiliki status sosial yang tinggi. Dapat kita jadikan sebagai acuan adalah pada penelitian di Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, birokrasi yang sentralistik dan paternalistik pada masa orde baru ini memberi sumbangsih besar pada praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Birokrasi pada masa orde baru menciptakan strategi politik korporatisme negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasi birokrasi pemerintah kedalam masyarakat, untuk mengukuhkan dan melanggengkan kekuasaan yang dicengkeram Orde Baru. Lisensi Monopoli, penyeragaman, kerjasama Negara-Militer-Pengusaha merupakan sedikit dari sekian banyak rangkaian tindakan corak korporatisme ini.

Masyarakat (korban) birokrasi
Masyarakat kita ternyata sudah “terbiasa” hidup dalam tekanan birokrasi. Secara paradoks dibalik berbagai hujatan dan cemoohan terhadap birokrasi, masyarakat kita ternyata juga “menjunjung tinggi” profesi di lingkungan birokrasi. Feodalisme masyarakat sebagai bagian dari sejarah bangsa-bangsa feodal yang terbelakang dan terjajah sepanjang hayatnya turut menghantui perjalanan bangsa ini. Kedudukan birokrat sejak jaman penjajahan menjadi terpandang karena berhubungan dengan penempatan para bangsawan dalam kedudukan ini oleh penjajah belanda. Padahal maksud sebenarnya agar para bangsawan dalam masyarakat kita “puas” dan tidak memicu pemberontakan. Sampai kemerdekaan pun, akhirnya posisi di birokrasi menjadi primadona karena tidak perlu bersusah payah akan naik pangkat dan memiliki penghasilan yang pasti. Terlebih, diluar konteks itu semua, uang menjadi panglima dalam rekruitmen aparatur, mengesampingkan fungsi “intelektualitas”. Akhirnya sedikit sekali anak bangsa yang “tercerahkan” berada sebagai bagian birokrasi. Masyarakat disebut korban birokrasi karena mau tidak mau harus berurusan dengannya. Persepsi negatif tentang birokrasi kemudian dipertegas dengan melakukan cara-cara semisal KKN agar urusan lancar. Secara nyata, praktik demikian membawa birokrasi semakin terpuruk pada jurang tidak profesionalnya.

Reformasi birokrasi?
Dampak yang muncul kemudian membawa birokrasi tidak profesional, membuat urusan bertele-tele demi insentif, mengejar rent seeking, dan mengedepankan unsur-unsur KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam praktik pelayanan publik. Ternyata hal demikian pun dijadikan pembenaran masyarakat untuk menghujat sekaligus “memanfaatkan” keadaan birokrasi yang demikian. Maka berbahagialah anda yang memiliki banyak uang, atau memiliki “orang dalam”. Masyarakat feodal adalah masyarakat yang tidak akan maju. Karena itulah feodalisme musti dikikis dari bumi Indonesia. Terbukti, tuntutan profesionalisme demokrasi baik dari masyarakat terpelajar, ulama, dan intelektual negeri ini direspons berbagai pihak dengan positif, walaupun masih agak pesimis dengan pelaksanaannya. Upaya apa yang harus dilakukan?

Tekanan-tekanan yang melanda birokrasi yang semakin inefisiensi organisasi dan menimbulkan distorsi ekonomi memunculkan pemikiran-pemikiran, rethinking government. Momentum kejatuhan Soeharto sebagai administrator negara Republik ini dan berkibarnya semangat otonomi daerah membuat berbagai pembenahan-pembenahan, pembaharuan pemikiran dan kinerja secara keseluruhan dari konsep birokrasi. Dalam era otonomi daerah, pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme birokrasinya. Maka dari itu perlu diperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai, meninjau kembali mekanisme rekruitmen pegawai, metode pendidikan dan pelatihan pegawai, deregulasi dan debirokratisasi, perubahan kultur organisasi, dan lain sebagainya. Dengan diperkaya dengan literatur pemikiran seperti New Public Management, E-Government, Reinventing Government, walaupun sebagai konsep dan teori masih memiliki celah-celah untuk menjadi diskursus lebih jauh tetapi usaha untuk mengoptimalkan tujuan birokrasi selalu diusahakan. Yang kemudian menjadi masalah, seperti yang dijelaskan diatas, lagi-lagi kultur masyarakat yang sudah sedemikian rapuh dalam menunjang birokrasi yang profesional. Budaya paternalistik yang kuat cenderung kepada pejabat untuk berorientasi kepada kekuasaan, bukan kepada pelayanan publik. Menempatkan dirinya sebagai penguasa dan memperlakukan pengguna jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Di sisi lain, pada masyarakat terjadi pembenaran terhadap “aturan main” yang dibuat ini. Segelintir masyarakat dengan ego dan kekuasaannya membeli sebuah ekslusivitas yang secara tidak langsung mengabaikan dan memporak porandakan keadilan, persamaan, serta profesionalitas dalam berhadapan dengan birokrasi. Secara empiris, keadaan demikian masih berlangsung hingga saat ini, walau pemerintah pusat maupun daerah, bahkan legislatif selalu menunjukkan angka-angka keberhasilan “pengentasan” korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada kenyataannya praktik penyelewengan kekuasaan maupun penyalahgunaan kekuasaan masih terjadi seolah berkendara pada jalan bebas hambatan.

Penutup
Hal-hal seperti demikianlah yang terus berulang bagi negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Pada saat masih terdapat banyaknya skala ekonomi yang senjang, penggunaan kapital masih sangat dihargai dibanding hal lain, maka pernyataan reformasi birokrasi publik adalah jalan panjang yang berliku, jika tidak dapat disebut utopis. Dalam kondisi demikian, kita sebagai intelektuallah yang memiliki kemampuan untuk melakukannya dimasa depan, karena bagaimanapun juga –menurut pendukung teori birokrasi- pembangunan tidak dapat dilakukan tanpa birokrasi, keteraturan tidak ada tanpa birokrasi, alokasi sumber daya publik tidak dapat dilakukan tanpa birokrasi. Masalah utamanya adalah efisiensi dan profesionalisme birokrasi. Ironisnya, masalah ini muncul justru ketika birokrasi semakin besar dan kuat. Berbagai cara telah diajukan para intelektual bangsa, antara lain reformasi birokrasi secara kultural, secara struktural, moral dan mental image aparatur negara dan masyarakat, juga pemikiran akan konsep administrasi islami, misalnya, maupun konsep birokrasi relijius dan sebagainya. Namun kesemua konsep sistem diatas hanya sebatas diatas kertas jika tidak dibarengi semangat dari semua komponen masyarakat. Jika dikaitkan dengan konteks masyarakat madani (civil society) maka membatasi dominasi negara dan membentuk hubungan masyarakat sipil dan negara adalah salah satu indikator sekaligus pemicu (trigger) bagi implementasi yang efektif upaya-upaya yang dilakukan semua komponen bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.

Bentuk konkret dari tata kepemerintahan yang baik (good governance) yang dicanangkan dengan serius pada masa reformasi ini tentu menuntut check and balances pula. Pertanyaan yang musti diajukan pada diri sendiri adalah ada dimana posisi kita dan sampai dimana usaha dan kepedulian kita dalam usaha profesionalisme birokrasi.

[president@unggulcenter.co.cc Pemenang I Lomba Essay Adm Competition. ADM Days. Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI, 2005]

About the Author: unggulcenter

Pengelola UC - Review Pengalaman Produk dan Perjalanan

You might like

1 Comment

  1. Hal yang terpenting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan undang-undang PNS/Aparatur Negara. Undang-undang tersebut telah menempatkan PNS sebagai alat kekuasaan bukan alat negara sebagaimana di negara maju. Sehingga mindset aparat negara cenderung feodal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.