Pada siang hari, 27 Mei 2017, seorang teman dari jejaring kebebasan berekspresi di Asia Tenggara memberikan informasi soal maklumat yang cukup mengagetkan. Selain karena ada beberapa kasus “pemburuan” atau “persekusi” orang-orang yang mengungkapkan isi hatinya di media sosial (terutama terkait isu politik dan agama), juga dikaitkan dengan adanya fakta bahwa gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok yang divonis dua tahun penjara, yang membawa “efek” legitimasi bagi kelompok-kelompok untuk mengeruduk “ahok-ahok” lain. Bedanya, ini terjadi di dunia maya namun diteror secara maya dan nyata.
Berikut ini isi Pernyataan dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) yang dirilis pada kemarin, 27 Mei 2017.
SAFEnet Meminta Pemerintah Indonesia Mewaspadai aksi Persekusi oleh masyarakat*
Jakarta, 27 Mei 2017 – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) – sebuah jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara – meminta pemerintah Indonesia mewaspadai aksi persekusi yang dilakukan oleh masyarakat. Tindakan persekusi ini sudah menyebar merata di seluruh Indonesia dan perlu menjadi perhatian serius karena tingkat ancamannya yang nyata.
Persekusi atau tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga ini didasarkan atas upaya segelintir pihak untuk memburu dan menangkap seseorang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap ulama dan agama.
Latar belakang dari persekusi ini muncul sejak dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama/Ahok ke pengadilan dengan pasal penodaan agama, muncul kenaikan drastis pelaporan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Lalu setelah Ahok divonis bersalah, muncul tindakan persekusi atau pemburuan atas akun-akun yang dianggap menghina ulama/agama atau SARA di media sosial.
Persekusi ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mentrackdown orang-orang yang menghina ulama/agama/suku/ras
2. Menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto, alamat kantor/rumah
3. Aksi gruduk ke kantor/rumahnya oleh massa
4. Dibawa ke polisi dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHPIndonesia adalah negara hukum maka seharusnya persekusi ini tidak dilakukan karena bila mengacu pada proses hukum yang benar (process due of law)
apabila menemukan posting menodai agama atau ulama/SARA:
1. Melakukan somasi
2. Melakukan mediasi secara damai, bukan digruduk massal
3. Bila mediasi tidak berhasil, barulah melaporkan ke polisi
4. Mengawasi jalannya pengadilan agar adilSAFEnet mengkhawatirkan bila aksi persekusi ini dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi ancaman serius pada demokrasi:
* Proses penegakan hukum berdasarkan tekanan massa (mobokrasi)
* Tidak ada kepatuhan hukum padahal Indonesia adalah negara hukum
* Tidak terlindunginya warga negara karena absennya asus praduga tak bersalah
* Terancamnya nyawa target karena tindakan teror
* Bila dibiarkan akan mengancam kebebasan berpendapat secara umumOleh karena itu, SAFEnet mendesak Pemerintah Indonesia dan secara khusus:
1. Kapolri untuk melakukan penegakan hukum yang serius pada tindakan persekusi atau pemburuan sewenang-wenang yang dilakukan segelintir pihak ini
2. Menkominfo untuk melakukan upaya yang dianggap perlu untuk meredam persekusi memanfaatkan media sosial ini karena melanggar hak privasi dan mengancam kebebasan berekspresi
3. Pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang menjadi target dari persekusi ini karena setiap orang harus dijamin untuk dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan terhindar dari ancaman yang membahayakan jiwanya.
Jakarta, 27 Mei 2017
SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network
Narahubung:
Damar Juniarto
Regional Coordinator SAFEnet 089900660000
damar@safenetvoice.org
Sebagai bagian dari aktivis internet cerdas kreatif dan produktif dan relawan teknologi informasi dan komunikasi, saya merenung. Selama ini kami memberikan informasi soal perilaku berinternet dan bermedia sosial yang “beretika” dan “cerdas”, plus kreatif dan produktif guna mengisi konten positif yang jarang muncul dipermukaan, dan menjadi titik lemah netizen Indonesia.
Sayangnya, berkaca dari kegundahan SAFENET, Internet (media sosial) menjadi ajang mengumpulkan massa yang siap melakukan penggerudukan ke individual yang bahkan tak tahu apa yang akan terjadi setelah “mulutmu harimaumu” menerkam mereka.
Sweeping yang dulu kerap dilakukan dan mencekam warga pada saat ramadhan, kini dilakukan di dunia maya. Di ranah medsos, sekarang berkeliaran “tentara” yang menyebut diri cyber army, laskar anu dan front ini itu dan mencari tahu soal penistaan agama tertentu.
Bukan pepesan kosong, karena banyak contoh ajakan “menggeruduk” dan “memburu” pemilik akun tertentu dilakukan secara terang-terangan. Secara sewenang-wenang, membuka identitas, mencari dan memburu pemiliknya secara publik dan menelanjangi identitasnya tanpa kesempatan untuk praduga tak bersalah.
Ya, ketika sudah “berhasil” melakukan persekusi maka dengan jumawa dipost pula di media sosial yang sama. Anehnya, menuai pujian dan sanjungan dari para pembacanya. Secara hukum, ada yang aneh di negeri ini ketika sipil berbaju militer dan polisi sebagai aparat. Gunanya juga bukan menegakkan hukum tapi melangkahi hukum dengan main hakim sendiri. Beberapa teman memberi alasan, itu karena lambannya aparat bertindak, atau tidak netralnya aparat. Apa benar?
Menurut saya, jelas, bahwa tindakan tersebut menyalahi aturan. Setiap individu atau kelompok, dapat mengadukan (report) akun tertentu dimedia sosial terhadap pengelola. Selain karena bukan wewenangnya, memberangus seseorang karena ekspresinya di dunia maya juga bukan bagian dari dunia demokrasi.
Apalagi, memang di Indonesia walaupun beberapa hal menjadi basis kebebasan dan keterbukaan misalnya UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik, masih dalam status “partly free” oleh Freedom House internasional. Process due of Law yang menjadi poin dari SAFENET dinegasikan terang-terangan dengan aksi persekusi ini.
Kedua, ketika sudah jelas ada unsur penistaan agama dengan kata-kata yang kasar (bukan yang dapat diperdebatkan seperti kasus Ahok) bukan berarti pula si pemilik kalimat menjadi layak “buru”. Khilafnya seseorang dalam menulis status, dalam arti tidak paham konsekuensinya, sebenarnya memang didasari oleh preferensi sosial politik dirinya di satu sisi ekstrim. Dia menulis karena uneg-uneg, dan atau karena stimulasi berita yang dibaca dan dilihat kemudian diungkapkan opininya melalui akun pribadi.
Di satu sisi lainnya, benar-benar tidak tahu apa yang dia tulis dan ikut-ikutan. Biasanya ini saya temukan di status dan post gambar anak abege yang melecehkan pihak tertentu. Menganggap sosial media yang terpatri tulisan di dalamnya seperti mengobrol angin lalu sesama anak muda nongkrong se-geng di pinggir jalan sambil memarkir motor matic.
Langkah yang tepat memang perlu dilakukan, bukan juga kita diamkan. Dalam hal ini, andil aparat penegak hukum sangat diperlukan. Pun jika beredar aparat “lamban bertindak”, maka yang dipublikasikan adalah aparat tersebut, bagaimana kelompok yang mengadukan dihambat dan seterusnya dengan bukti dan foto. Bukan foto penggerudukan dan foto “pelaku” yang dipermalukan di ranah publik melalui share di media sosial ketika digelandang.
Disatu sisi, seperti yang saya gundahkan diatas, penggunaan media sosial dari sisi pengguna memang harus “cakap” dalam arti, bijak ketika online dan berpikir berkali-kali sebelum posting sesuatu sebagai “uneg-uneg”. Namun, uneg-uneg ini adalah salah satu karakter kebebasan ekspresi yang dilindungi. Gunakan koneksi kenceng internetmu, misalnya saya, dengan XL sekarang lebih suka menonton video edukatif via Youtube, dan mungkin akan memproduksi pula video sejenis untuk berbagi, tentu sangat positif.
Dilindungi, dengan filosofi luhur, “saya mungkin tidak sependapat dengan Anda, tapi saya membela hak Anda untuk mengemukakan pendapat Anda”. Untuk itu, perlu kedewasaan dan logika dalam menyikapi setiap informasi (atau hoax, hasut, fitnah, abu-abu) yang muncul di ranah internet khususnya media sosial.
Dalam waktu kurang dari 24 Jam, beberapa media memuat soal maklumat dari SAFENET ini dan dengan demikian, tinggal menunggu respons pemerintah dalam kasus “persekusi” ini. Kira-kira seperti apa tindakan yang dapat dilakukan masih kita tunggu.
Bagi saya, hanya bisa menganjurkan dari sisi etika, karena media sosial dan internet secara umum adalah ranah publik. Disana belantara dimana apapun yang kita tulis akan berujung kepada konsekuensi yang kita bahkan tak bisa bayangkan. Sopan dan santun, sebagai karakter bangsa harus tak berbeda dengan di dunia sosmed.
Pun demikian, jika ada yang terlanjur mengeluarkan hal yang tak pantas dibaca di media sosial dan menyinggung perasaan, ada koridor yang perlu dilalui ada proses yang harus kita jalankan sebagai masyarakat yang hidup di negara hukum. Hal yang juga nista jika meneror, mengancam seseorang bersama massa kelompok atas pendapat pribadi seseorang. Lebih baik bertabayyun, jika memang tak ada pilihan kecuali harus mendatangi pemilik status SARA tersebut. Atas dasar pertimbangan tertentu.
Melakukan komunikasi dengan si empunya akun tanpa emosional berlebihan. Bermediasi, tanpa intimidasi, memberikan penjelasan dan memintai penjelasan apakah maksud dari empunya akun. Jelaskan konsekuensinya, kalau memang jumawa “menantang hukum”. Sebelumnya, asas praduga tak bersalah, harus diterapkan. Belum lagi soal akun yang belum tentu punya si pemilik sebenarnya, dan seterusnya.
Pihak lain, walaupun begitu, tak dapat memaksakan kehendak mengubah pendapat si pemilik status. Jika tidak puas, langkah prosedural ke ranah hukum, silakan dilakukan dengan berpedoman kepada peraturan dan perundangan yang berlaku. Sweeping ala ormas di dunia maya, hanya akan memperburuk citra kelompok-kelompok yang bersangkutan, dan embel-embel sesuatu atau seseorang yang “dibelanya”.
Atau, jika “status” atau “pernyataan” atau “foto” yang menyinggung dan terkait SARA ini disikapi, ditangani dengan cara humanis dan (jika perlu ke ranah hukum) prosedural yang tepat, sebaliknya, meningkatkan citra dari kelompok masyarakat tersebut dan pranata sosial yang berada dibelakangnya.
Masalahnya itu, terlalu banyak orang yang memberi komentar dari persepsi pribadi. Sehingga banyak pemahaman yang sebenarnya bukan dari ilmu, tapi dari nafsu. Hal ini justru meresahkan karena banyak orang awam yang berselancar di dunia maya dan mudah terprofokasi.
Iya, dua duanya salah. Sebagai aktivis Internet sehat, saya dkk slalu memotivasi untuk menyebarkan konten positif di internet, bukan misuh-misuh ga pada tempatnya. Kadang memang “bablas”. Ngobrol di sosmed kayak ngobrol di Warkop yang abis ngobrol ilang cerita. Kalau di sosmed, bakal ada trus beberapa hari minimal (Sebelum ketimpa status baru)
Hal yang sama meresahkan saya juga mas, ya resah, sedih, marah.. semoga ke depannya masy Indonesia lebih bijak dalam berinternet ria..
iya, dua-duanya harus menahan diri. berinternet dengan bijak