UU Desa Untuk Jaman Baru

https://www.unggulcenter.org/uu-desa-untuk-jaman-baru/

UU Desa yang baru saja disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 seakan menjadi kado tahun baru bagi eksistensi desa di tahun 2014 dan seterusnya. Sekaligus sebagai momentum kembali ke “khittah” desa –dan nama lain yang sejenis sebagai institusi mandiri untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui kemandirian dan juga mengenali kembali konteks kesejahteraan dalam sistem penghidupan pedesaan.

Pendulum Jaman

Struktur pemerintahan desa, lengkap dengan berbagai komponen pembantu Kepala Desa (bahasa sekarang; perangkat desa) menjalani pola hubungan simetrikal yang mutualis selama berabad-abad.

Nusantara dengan pelbagai konflik politik dan perluasan wilayah (tanah) sebagai denyut alamiah sebuah pola kerajaan dan feudal membuat perdesaan sudah “terbiasa” dalam perubahan yang dinamis, namun desa sebagai institusi tak  lantas tercarut-marut karena jarang sekali pergantian kekuasaan mengakibatkan pergantian kepala desa, dukuh atau dusun.

Dengan demikian, desa tetap menjadi tumpuan paling dekat dalam jejaring kesejahteraan lokal, walau perspektif masa kini mungkin berbeda dalam mendefinisikan kesejahteraan era lama. Selain itu, sistem penghidupan masyarakat desa dari jaman ke jaman mengalami keunikan tersendiri baik dari antar-ruang maupun antar-waktu.

Pendulum jaman kemudian beralih ke masa kolonialisme mungkin yang paling dikenal adalah desa sebagai gemeente, ditandai dengan berlakunya Indische Staatsregelling. Status ini berlaku hingga masa intelektual etis negeri Belanda yang berkeinginan untuk semakin memandirikan desa sebagai institusi hukum, bukan hanya kesatuan komunal saja pada Islandsche Gemeente-ordonanntie yang disambut gembira semua pihak.

Bahkan klimaks kemandirian desa melalui rancangan “desaordonanntie” tahun 1941 memberi keleluasaan desa berkembang sesuai dengan kondisi dan potensinya sendiri. Sayang belum sempat dilaksanakan akibat adanya penjajahan jepang.

Pendulum ke arah sebaliknya terjadi sejak masa kemerdekaan. UU No. 5 Tahun 1974 menandai berkurangnya eksistensi desa dan dalam pelaksanaan selama orde baru yang rentan KKN menjadikan desa sebagai tempat tinggal hampir 20 persen penduduk miskin di negara ini.

Imbas  reformasi dan otonomi daerah bagi desa dapat dilihat pada UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang sudah memuat hal-ihwal desa dengan pelaksanaannya melalui PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam praktiknya, konsep ideal ini tidak berlangsung sesuai mandat (Darmawan, 2006).

Gerakan

Saat ini, walaupun pendulum sejarah bergerak lagi melalui penetapan UU Desa tetapi berbagai pemikiran inovatif dalam rangka pembangunan desa sudah lama digagas oleh “sektor ketiga” baik dari akademisi universitas, komunitas, lembaga swadaya masyarakat dalam bingkai civil society.

Kajian, pemikiran an gerakan berlatar akademis seperti konsep sosiologi nafkah (livelihood sociology) ber-“Mazhab Bogor” (Darmawan, 2013) untuk pembangunan masyarakat perdesaan, juga tumbuh gerakan masyarakat sipil lainnya seperti Gerakan Desa Membangun (GDM) yang mengedepankan isu tata kelola pemerintahan desa yang baik, pengelolaan desa berbasis teknologi informasi untuk efektivitas dan efisiensi pelayanan pembangunan. Domain desa.id menjadi salah satu capaian dari sisi kelembagaan dan pemerintahan.

Kisah dramatis Festival Jawa-Kidul, kiprah Kepala Desa 2.0 dengan program-program “DemIT” Desa Melek IT nya menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan dalam “modernisasi” desa. Hal ini selain tuntutan perkembangan pelayanan, juga diamanatkan oleh UU Desa dalam hal “sistem informasi desa” yang menjadi solusi permasalahan perdesaan dari sisi penunjang infrastruktur teknologi.

Adanya beasiswa khusus wirausaha pertanian berbasis kawasan perdesaan seperti “Indonesia Bangun Desa” yang merupakan program bantuan beasiswa untuk mengembangkan usaha berbasis pertanian dengan tahapan pelatihan 3 bulan dan penempatan 9 bulan juga kontributif untuk pembangunan ekonomi perdesaan.

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada orasi ilmiah sebagai alumni pada Dies Natalis Tahun Emas Institut Pertanian Bogor, 20 Desember 2013 lalu memberikan harapan pertanian dan perdesaan sebagai arus-utama dalam pembangunan berkelanjutan dan dalam beberapa kesempatan sebelumnya, presiden juga mengisyaratkan bahwa RUU Desa akan segera disahkan menjadi UU.

Momentum UU Desa di akhir tahun 2013 ini menjadi titik balik dalam kajian relasi antara negara kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang “Agraris” dan “Aquaculture”. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan melaksanakan bagian-bagian dari urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dalam praktiknya, kewenangan ini disertai dengan pembiayaan yaitu penghasilan tetap setiap bulannya disertai tunjangan bagi Kepala desa dan perangkat desa melalui dana APBDesa yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota.

Kritik

Dalam pelaksanaannya, selain perlunya Peraturan Pemerintah (PP) sesegera mungkin untuk sekitar 18-19 Pasal pada UU Desa ini, perangkat desa termasuk Kepala Desa juga memerlukan pemberdayaan (empowering) melalui berbagai pelatihan. Terutama dalam hal keuangan karena dana alokasi desa yang tersedia sebesar 42 trilyun dari 10% dana “on top” dari APBN (sesuai pasal 72) yang jika dibagi rata kepada 72.000 desa yang ada, maka mendapatkan sekitar 600 juta rupiah per-desa. Jumlah yang diharapkan cukup untuk gaji perangkat desa dan meningkatkan profesionalisme pelayanan hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat desa bersangkutan melalui berbagai program-program kerja desa.

Berbagai cibiran terkait pencitraan menjelang Pemilu 2014 mewarnai opini masyarakat tentang UU Desa sebagai sesuatu yang lumrah, namun perlu pola-pikir secara “positive thinking”. Belum lagi secara kultural, terdapat kritisi yang didasari isu heritage seperti lembaga adat, ketidakseragaman model pemerintahan terendah (sebab di sumatera disebut nagari, gampong, dusun dan sejenisnya) misalnya yang diinisasi oleh LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) akhir-akhir ini.

Namun demikian, pendulum sudah berubah arah. UU sudah disahkan, desa siap menerima bantuan finansial untuk percepatan pembangunan desa yang mandiri, harus siap melakukan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan siap menyediakan SDM sebagai prasyarat governing capacity gar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.

Kawal perjalanan kemandirian desa dengan terjun langsung mengamati dan melakukan evaluasi sesuai kompetensi. Sebagai relawan, dapat terjun ke lapangan dalam mewujudkan desa 2.0 yang berbasis TIK, dukungan teknis sistem informasi dan website desa.id atau sebagai mahasiswa dan masyarakat umum, dapat mengkaji dan meneliti atau memberikan informasi dan masukan bagaimana pemerintah desa dapat berperan menjadi katalisator perekonomian desa yang sejahtera.

About the Author: unggulcenter

Pengelola UC - Review Pengalaman Produk dan Perjalanan

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.